Spread the love

Loading

metrojakarta.com ( Jakarta ) – Fenomena ketidaknyamanan sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) DKI Jakarta terhadap sosok pemimpin berlatar belakang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ternyata bukan sekadar urusan asal kampus. Di baliknya, ada persoalan yang lebih dalam: benturan kultur birokrasi modern dan gaya kepemimpinan komando yang sulit menyatu dalam ritme kerja Jakarta.

Hal itu diungkapkan Agung Nugroho, Direktur Jakarta Institute, dalam keterangannya kepada redaksi, Senin (7/10/2025). Menurutnya, resistensi ASN DKI terhadap figur lulusan STPDN muncul karena perbedaan paradigma dan karakter kepemimpinan yang cukup tajam.

“ASN DKI sudah terbiasa dengan kerja kolaboratif, berbasis data, dan penuh dialog. Sedangkan lulusan STPDN dibentuk dalam sistem yang menekankan komando tunggal dan disiplin hierarkis. Dua dunia ini kerap berbenturan dalam praktik,” kata Agung.

Ia menilai, gaya kepemimpinan komando itu cocok di daerah dengan kultur sosial yang masih paternalistik — di mana pemimpin dipandang sebagai figur pengarah tunggal. Namun di Jakarta, dengan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks dan ritme birokrasi yang cepat, gaya seperti itu justru bisa menciptakan jarak.

“Begitu model komando diterapkan di birokrasi perkotaan, banyak ASN merasa kehilangan ruang berekspresi. Mereka tidak menolak disiplin, tapi menolak jika kreatifitasnya dikebiri,” ujarnya.

Lebih jauh, Agung menautkan fenomena ini dengan situasi politik menjelang Pilgub DKI. Ia menilai, penempatan figur STPDN di jabatan strategis sering kali ditafsirkan sebagai sinyal politik dari pusat. “Di DKI, rotasi pejabat tak pernah murni administratif. ASN sudah sangat sensitif membaca arah politik kekuasaan,” tambahnya.

Menurut Agung, Jakarta selama ini menjadi laboratorium reformasi birokrasi nasional: sistemnya transparan, berbasis teknologi, dan berada di bawah pengawasan publik yang ketat. Karena itu, muncul kekhawatiran bahwa gaya kepemimpinan berbasis loyalitas bisa membawa birokrasi DKI mundur ke era lama yang tertutup dan feodal.

“Jadi resistensi ini bukan soal benci pada STPDN, tapi soal menjaga agar birokrasi tetap modern, meritokratis, dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek,” tegasnya.

Agung juga menilai, ASN di Jakarta memiliki identitas profesional yang kuat. Mereka tak melihat diri sebagai bawahan pasif, melainkan mitra kebijakan yang berpikir dan berinisiatif. “Pemimpin yang datang dengan gaya otoriter mungkin akan dipatuhi secara formal, tapi bukan secara moral. Mereka akan diam — tapi mesin birokrasi berhenti berjalan,” katanya.

Sebaliknya, ketika gaya kepemimpinan yang kolaboratif diterapkan, semangat kerja ASN justru muncul secara sukarela. “Itulah bedanya memimpin kota modern dengan memimpin daerah tradisional. Di Jakarta, yang dibutuhkan bukan pemimpin yang gagah di barisan apel pagi, tapi yang mampu menghidupkan ruang diskusi dan ide,” tambah Agung.

Ia menegaskan, ASN DKI tidak menolak lulusan STPDN. Mereka hanya menolak jika Jakarta diperlakukan seperti kamp pelatihan. “Yang dibutuhkan adalah pemimpin dengan cara pandang terbuka, rasional, dan memahami kompleksitas perkotaan. Bukan yang hanya mengandalkan komando dan barisan tegap,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *