Spread the love

Loading

 

klikbangsa.com-Jakarta. Di masa Orde Baru, rakyat mengenal istilah “Susu Tante” dan “Susu Nenek”, sindiran terhadap pungutan-pungutan yang katanya sukarela, tapi pada kenyataannya terasa wajib. Puluhan tahun berlalu, rupanya tradisi itu belum benar-benar hilang. Kini di Jakarta muncul lagi “Susu Bibi”, plesetan satir untuk pungutan Palang Merah Indonesia (PMI) yang kembali dilakukan secara massif oleh jajaran pemerintah daerah hingga tingkat kelurahan dan puskesmas.

Tujuannya memang terkesan mulia: menggalang dana kemanusiaan. Namun niat baik sering kali kehilangan makna ketika dijalankan tanpa kepekaan sosial. Banyak ASN dan warga merasa terpaksa ikut menyumbang, karena pengumpulan dana dikaitkan dengan laporan kinerja atau arahan struktural dari atasan. Padahal, semangat dasar PMI adalah kesukarelaan dan kemanusiaan — bukan kewajiban birokratis.

Dasar hukum yang sering dijadikan pijakan pun sebenarnya sudah sangat lama, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Palang Merah Indonesia. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa maksimal 10% dari hasil pengumpulan dapat digunakan untuk biaya penyelenggaraan kegiatan, bukan sebagai “upah pungut” bagi pejabat. Namun di lapangan, tafsir keliru atas pasal ini telah melahirkan kultur target dan setoran, yang justru menodai semangat sukarela itu sendiri.

Situasi makin kompleks ketika muncul Instruksi Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Nomor E-0044 Tahun 2025. Surat tersebut pada dasarnya hanya berisi imbauan dan arahan koordinasi kepada para pejabat di lingkungan Pemprov DKI agar mendukung kegiatan Bulan Dana PMI DKI Jakarta Tahun 2025. Namun, yang disayangkan, tidak ada satu kalimat pun yang menegaskan agar pelaksanaannya tidak dilakukan dengan paksaan terhadap masyarakat.

Ketiadaan klausul antarpaksaan ini menjadi celah yang berbahaya. Dalam praktik birokrasi yang hierarkis, “imbauan” sering kali ditafsirkan sebagai “perintah”. Akibatnya, niat baik PMI untuk menggalang dana kemanusiaan justru berpotensi berubah menjadi kegiatan semi-wajib yang menekan pegawai dan warga.

Padahal, PP No. 29 Tahun 1980 sama sekali tidak memberikan dasar hukum bagi pungutan yang bersifat memaksa. Pengumpulan dana PMI harus dilakukan dengan cara persuasif, transparan, dan berdasarkan kesukarelaan. Begitu unsur pemaksaan masuk, kegiatan itu bukan lagi amal kemanusiaan, melainkan pungutan terselubung.

Kalau dulu rakyat menertawakan “Susu Tante” dan “Susu Nenek” sebagai simbol birokrasi rakus, kini muncul “Susu Bibi” yang tak kalah menyengat. Bedanya, dulu terang-terangan, sekarang dibungkus dalam jargon kemanusiaan. Namun substansinya sama: semangat gotong royong rakyat dikomodifikasi oleh struktur kekuasaan.

PMI seharusnya menjadi simbol solidaritas, bukan simbol setoran. Pemerintah daerah wajib memastikan bahwa setiap kegiatan pengumpulan dana dijalankan secara etis dan sukarela. Karena ketika “sumbangan” berubah menjadi “kewajiban”, yang terkuras bukan hanya uang rakyat, tapi juga nurani kemanusiaan itu sendiri.

(Frs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *