Klikbangsa.com (Jakarta) 23 Juli 2025 — Fenomena penyebaran hoaks di media sosial kini tak ubahnya seperti candu yang kian mewabah. Ragam pesan berita bohong yang menggugah emosi terbukti lebih mudah viral dan membentuk perilaku masyarakat yang sulit berhenti membagikannya sehingga kian banyak yang jadi korbannya.
Menurut Wiendarto yang merupakan konsultan komunikasi sejumlah BUMN dan BUMD, hoaks memiliki sifat adiktif karena mampu memantik emosi kuat seperti marah, takut, dan haru. Ia merujuk riset yang dilakukan oleh Jonah Berger dan Katherine Milkman yang diterbitkan di Journal of Marketing Research tahun 2012, bahwa konten dengan tingkat aktivasi emosional tinggi (emotional arousal) lebih mudah tersebar dibandingkan konten dengan emosi datar.
“Hoaks itu seperti camilan tinggi gula dan garam yang gurih dan bikin ketagihan, tapi nol nilai nutrisinya dan bahkan merusak jangka panjang. Akibatnya akal sehat tumpul, kepercayaan publik terkikis, dan kebijakan publik bisa ikut terseret opini sesat,” ujar Wiendarto, dalam keterangannya, Selasa (22/7).
Ia menjelaskan, selain faktor emosi, ada pula mekanisme psikologis yang membuat hoaks mudah dipercaya, seperti confirmation bias dan illusory truth effect, yakni kecenderungan otak manusia mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinannya atau yang sering diulang. “Jadi kita hanya mempercayai yang ingin kita percaya dan jika ada seratus akun menyebarkan hal yang sama, meskipun itu bohong, banyak orang tetap menganggapnya benar, kan bahaya,” tegasnya.
Wiendarto menyoroti pula peran platform digital yang secara tidak langsung “menyuburkan” penyebaran hoaks lewat sistem monetisasi yang menghargai jumlah views dan engagement. “Selama atensi menjadi komoditas, hoaks akan selalu menemukan panggung,” ujarnya lagi.
Data Kementerian Komunikasi dan Informasi Digital (Komdigi) menunjukkan, sepanjang tahun 2024 terdapat 1.923 konten hoaks yang telah diklarifikasi secara resmi. Sejak 2018 hingga 2023, jumlah hoaks yang teridentifikasi bahkan menembus 12.547 konten. Beberapa di antaranya adalah isu beras dan telur plastik, serta hoaks penarikan uang massal dari bank yang sempat viral di masa pandemi 2020 dan kembali muncul pada 2024.
Kasus terbaru, kata Wiendarto, adalah hoaks mengenai kapal tunda JKW Mahakam dan tongkang Dewi Iriana, yang menuding adanya kepemilikan oleh mantan presiden. “Padahal faktanya, kapal itu milik perusahaan publik yang disewakan untuk mengangkut batu bara di Kalimantan dan tidak ada hubungan dengan mantan presiden seperti yang disebutkan dalam fitnah itu. Untungnya perusahaan cepat merespons dengan klarifikasi yang jernih di situs resminya, hingga Komdigi menandainya sebagai hoaks,” jelasnya.
Wiendarto menilai langkah perusahaan tersebut sebagai contoh penanganan hoaks yang efektif tanpa menimbulkan kegaduhan berlebihan di ruang publik. “Tanpa konferensi pers atau debat terbuka, hoaks itu bisa padam hanya dengan klarifikasi faktual dan konsisten. Itulah kekuatan komunikasi yang tenang namun strategis. Salut dengan kesigapan perusahaan dan tim komunikasinya yang mampu memadamkan hoaks secara efisien dan efektif,” puji Wiendarto.
Karena itu untuk memutus wabah kecanduan hoaks yang kian merajalela ini, ia menegaskan, masyarakat perlu melatih dirinya sendiri untuk menerapkan protokol anti-hoaks sebelum membagikan informasi yang provokatif. “Seperti dikutip dari Komdigi, ada sejumlah langkah yang dapat kita lakukan untuk mencegah penyebaran hoaks. Antara lain dengan memeriksa sumber berita, mencermati alamat situs, mengecek keaslian foto dengan Google Lens, serta mengikuti grup diskusi anti-hoaks seperti Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH) atau Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo),” jelas Wiendarto.
Jadi, Wiendarto menegaskan, memutus rantai candu hoaks ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga menyangkut literasi, kedewasaan, dan tanggung jawab sosial masyarakat sebagai warga digital. “Kita perlu membangun ekosistem informasi yang sehat dengan mengedepankan verifikasi, bukan sensasi; klarifikasi, bukan spekulasi sehingga ruang digital kita bebas dari wabah hoaks ini,” tegas Wiendarto.
M.NUR